Piagam Jakarta
NAMA : NARISA NUR ISTIKHAROTULLAILA
POLITIK ISLAM

PIAGAM
JAKARTA
1. Terbentuknya
“Pancasila” Soekarno
“The
Japanese Empire (hereby) annoumce the future independence of all Indonesian
people” (Kekaisaran jepang [dengan ini] mengumumkan kemerdekaan pada masa
yang akan datang bagi segenap rakyat Indonesia), Demikian Perdana Menteri
Jepang. Kuiniaki Koiso, mengumumkan di depan resepsi istimewa “The Imperial Diet” yang ke-85 pada
tanggal 7 September 1944.
Langkah pertama pelaksanaan janji
ini adalah pembentukan ‘Dokuritsu Junbi Cosakai” (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945, Badan Penyelidik
yang beranggotakan 62 orang ini termasuk Dr. Radjiman Widyodiningrat dan
R.P.Soeroso. dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di
Gedung Pejambon dalam dua siding. Siding pertama berlangsung dari tanggal 29
Mei 1945 sampai 1 Juni 1945, dan yang kedua dari tanggal 10 sampai 16 Juli
1945. Pada hari terakhir siding pertama, Soekarno, salah seorang anggota Badan
Penyelidik, menyampaikan pidato yang kemudian mempunyai makna sejarah:
Paduka Tuan Ketua yang mulia!
Sesudah
tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Junbi Cosakai mengeluarkan
pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan
Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati
permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia.
…
Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah,
dalam bahasa Belanda: pilosofische gronslag itulah fundamen filsafat, pikiran
yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang
kekal dan abadi.
Kemudian Soekarno mengajukan lima
asasnya sebagai dasar Negara, yaitu: kebangsaan Indonesia, Internasionalisme,
atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan
ketuhanan. Dia menamakan lima asasnya ini dengan “pancasila”.
Tiga hari sebelum Soekarno
menyampaikan pidatonya yang terkenal itu, Muhammad Yamin telah menyampaikan,
pada tanggal 29 Mei 1945, didepan siding Badan Penyelidik itu lima asas sebagai
dasar bagi Indonesia Merdeka, sebagai berikut: peri kebangsaan, peri
kemanusiaan, peri keTuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Tidak terdapat perbedaan fundamental
antara lima asas Yamin dan lima asas Soekarno itu. Perbedaan hanya dalam
istilah yang digunakan untuk “demokrasi” dan dalam susunan atau urutan
asas-asas tersebut.
Soekarno sendiri secara tegas
menolak anggapan bahwa dia “pencipta” Pancasila. Dalam pidato inagurasi
penerimaan gelar Doktor Honoris Cansa dari Universitas Gadjah Mada, dia
menyatakan: “jangan dikatakan saya ini pembentuk ajaran Pancasila. Saya hanya
seorang penggali daripada ajaran Pancasila itu.
Atas ajaran Presiden Soeharto, maka
dibentuklah Panitia Pancasila yang terdiri atas lima orang, yakni: Mohammad
Hatta, Ahmad Soebarjo, A.A Maramis, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo.
2. Lahirnya Piagam
Jakarta
Dalam naskah persiapan Undang-Undnag
Dasar 1945, jilid 1 yang di susun oleh Muhammad Yamin dicantumkan tiga pidato
terpenting yang mewakili para nasionalis sekuler, yaitu: pidato Soekarno pada 1
Juni 1945, pidato Yamin pada 29 Mei 1945, dan pidato Soepomo pada 31 Mei 1945.
Sementara itu, tidak ada satu pun pidato para anggota nasionalis Islam yang
dimuat.
Segera setelah siding pertama
berakhir, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk
panitia kecil yang terdiri atas Sembilan orang yang dipilih, yaitu: Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A.Maramis, Abikusno Cokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkar, Haji
Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Setelah
melalui pembicaaan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil mencapai satu
modus Vivendi antara para nasionalis Islami pada satu pihak, dan para
nasionalis sekuler pada pihak lain. Dalam pidatonya pada 10 Juli dalam siding
paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menekankan betapa beratnya tugas panitia
kecil sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat antar dua kelompok anggota.
Karena preambul itu ditandatangani
oleh Sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia terkenal sebagai
piagam Jakarta (the Jakarta Charter), nama yang tampaknya pertama kali
digunakan oleh Yamin.
Pada peringatan 18 tahun Piagam
Jakarta 22 Juni 1963, di dalam pidatonya yang berjudul “Pancasila itu pun
Pencerminan dan hasil daripada hikmah Piagam Jakarta”, antara lain
mengemukakan:
Diantaranya
dari sekian banyak inisiatif pemimpin-pemimpin Indonesia itu dari golongan alim
ulama Islam telah menyamoaikan surat inisiatif sebagai usul saran tentang
bentuk dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka
nanti. Pada saat itu surat-surat daripada alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam
yang diterima di meja Jawa Hokokai berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar.
Sehingga pada waktu panitia Dokuritsu Junbi membawa tentang pembuatan persiapan
Undnag-Undang Dasar terlebih dahulu disusunnya satu preambul (mukadimah) dan
preambul inilah yang pertama kali berwujud piagam Jakarta. Maka bagaimana pun
juga Piagam Jakarta itu banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu
surat-surat daripara alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam itu.
Soekarno, yang memimpin pertemuan,
mengingatkan segenap anggota bahwa preambul itu adalah suatu hasil jerih-payah
antara golongan Islam dan kebangsaan. “kalau kalimat ini tidak dimasukkan,
tidak bisa diterima oleh Kaum Islam”.
Berbicara tentang Mukadimah yaitu
“Piagam Jakrta”, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhmmadiyah, tidak menyetujui
rumusan “Negara… berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sejalan dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, dia
mengusulkan agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja.
Soekarno sekali lagi mengingatkan siding baha anak-kalimat tersebut adalah
hasil kompromi antara dua pihak.Abikusno, seorang pemimpin Islami yang juga
salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, sekali lagi menunjukkan bahwa yang
dimuat dalam Piagam Jakrta tersebut adalah buah kompromi antara golongan Islam
dan golongan kebangsaan. penerimaan preambul (yaitu Piagam Jakarta) dan
Undang-Undang Dasar, ada baiknya perhatian kita tujukan pada keanggotaan Badan
Penyelidik ini. Perimbangan antara nasinalis Islami dan nasionalis “sekular”
adalah sebagai berikut di dalam Badan Penyelidik 15 berbanding 47, sedangkan
dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan) yang merumuskan dan mendatangani Piagam
Jakarta adalah 4 berbanding 5.
Piagam Jakarta yang dirancang dan dirumuskan serta dipertahankan
oleh Panitia Sembilan ini merupakan hasil akhir perjuangan yang panjang untuk
kemerdekaan dan dalam waktu yang sama merupakan titik tolak pembangunan dan
perkembangan masa mendatang.
“Dengan
hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang bersatu berdaulat adil
dan makmur “, kata Dr. A.H. Nasution dalam sambutan pada peringatan 18 “Maka
dengan ilham Piagam Jakarta pula tersusunlah Undang-Undang Dasar ’45 yang lazim
disebut sebagai Undang-Undang Dasar Proklamasi :
3.
Undang-
Undang Dasar 18 Agustus 1945
Naskah tentang pernyataan Kemerdekaan dirumuskan dalam suatu
pertemuan yang berlangsung di rumah Kolonel Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang
pada pukul 04.00, lalu dilanjutkan di kediaman Soekarno pada pukul 10.00.
proklamasi ini ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia, dan dibacakan dengan resmi oleh Soekarno.[1]
Esok
harinya diadakan rapat pembentukkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang beranggotakan dua puluh satu orang termasuk ketua dan wakil ketua, namun
atas saran Soekarno anggota pun ditambah enam orang. Dalam pidato pembukaannya
Soekarno menenkankan arti historik dan mendesak panitia untuk bertindak dengan
cepat dan tidak bertele-tele. Didalam rapat itu Moh. Hatta dipersilahkan untuk
menyampaikan empat usul perubahan yang terdiri dari:
1.
Kata
“Mukkadimah” diganti dengan “pembukaan”.
2.
Dasara preambul
(Piagam Jakarta) “berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
3.
Pasal 6 ayat 1
“presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata dan
beragama Islam dicoret.
4.
Sejalan dengan
perubahan yang kedua diatas, maka pasal 29 ayat S1 menjadi “Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “ Negara berdasarkan atas
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemelukknya”.
Setelah
membacakan perubahannya, Hatta menyatakan keyakinannya “Inilah perubahan yang
maha penting menyatukan segala bangsa”.[2]
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, sebelum siding Panitia Persiapan dimulai, Moh. Hatta
mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr.
Teuku Hasan dari Sumatera untuk mengadakan rapat agar tidak terpecah belahnya
kita sebagai bangsa hanya karena kalimat yang menusuk hati kaum Kristen yang
terdapat dalam UUD itu dengan menggantinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Beberapa
point Hatta yang mendapat perhatian dan perlu diketahui. Pertama, konsensus nasional yang sudah dicapai dengan susah payah
dalam Badan Penyelidik melalui diskusi dan perdebatan sengit itu, dicairkan
oleh usul orang asing, seorang opsir Kaigun Jepang. Kedua, bahwa keberatan opsir Kaigun Jepang yang dating
mengatasnamankan orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur
itu ialah terhadap “Klausul Islami” dalam pembukaan dan sama sekali tidak
menyinggung batang tubuh UUD. Ketiga, sehubungan
dengan alasan Hatta untuk mencoret “Klausul Islami” dari pembukaan UUD supaya
tidak menusuk hati kaum Kristen dan untuk menjaga supaya jangan pecah sebagai
bangsa.[3]
Reaksi
atas kejadian 18 Agustus 1945 tersebut terbagi mejadi dua, disamping mereka
yang menyesal perubahan yang tiba-tiba itu, ada pula mereka yang beranggapan
bahwa tidak hal yang tidak selaras dalam semua ini “Piagam Jakarta itu tidaklah
diubah atau diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidik atau Badan Persiapan
angkatan jepang.
Sementara
itu, hasil pertemuan yang menentukan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu diterima
dengan sepenuh hati olkeh para nasionalis ‘sekular’ sebagai “Gentleman’s agreement” yang kedua, namun
dalam waktu yang sama para nasionalis Islam merasa telah dikhianati, seperti
telah disinggung.[4]
Panitia
Persiapan ini berlangsung sampai tanggal 29 Agustus 1945. Sebuah badan yang
lebih besar dan luas dibentuk yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Dalam siding yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir membahas usul agar dalaam
Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh suatu kementerian atau
departemen tersendiri, dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tanggung
jawab Kementerian Pendidikan.[5]
Pada
tanggal 17-18 Maret 1946 tepatnya di Surakarta diselenggarakan Konferensi
Jawatan Agama seluruh Jawa dan Maduira. Dalam konferensi itu, H.M. Rasjidi
selaku menteri agama menguraikan “sebab-sebab dan kepentingannya pemerintah
Republik mendirikan kementerian agama”
Ialah
untuk memenuhi kewajiban pemerintah terhadap UUD Bab IX Pasal 29, yang
menerangkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu (ayat 1 dan 2)”.
Jadi,
lapangan pekerjaan kementerian agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut
paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.
Dari
sudut pandang para nasionalis ‘sekular’, pembentukkan kementerian agama itu
sebagai ‘konsesi’ mereka kepada orang-orang Islam., sedang para nasionalis
Islami sendiri berpandangan bahwa itu “is one of the achievements of the
Indoneisan Moeslem’s struggle for freedoim of their nation” (merupakan salah
satu hasil yang dicapai oleh umat Islam Indoneisa dalam perjuangan kemerdekaan
bangsanya). Dalam hubungan dengan eksistensi kementerian agama ini, BJ. Boland
menyimpulkan bahwa bahwa negara Indonesia baru ini lahir bukan sebagai negara
Islam menurut konsepsi Islami yang ortodoks, juga bukan sebagai negara sekular
yang memandang agama semata-mata masalah pribadi. Oleh karena itu, pembentukkan
dan eksistensi kementerian agama itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan
semangat Piagam Jakarta khususnya, dan dari perjuangan konstitusional para
nasionalis Islami dalam bidang konstitusi dan pemerintahan umumnya.[6]
4.
Dasar
Negara di Dalam Konstituante
Menjawab
pertanyaan mengapa kelompok Islami menerima hasil-hasil pertemuan tanggal 18
Agustus 1945. Dalam tulisannya Jenderal Soedirman mengatakan, bahwasanya
keadaan tanah air pada saat itu sangat bahaya karena telah dikelilingi oleh
tentara Sekutu. Dan dengan nada yang sama, Harun Nasution juga memberikan
keterangan sebagai berikut:
“Masa revolusi bukanlah saat yang tepat (bagi para nasionlais
Islami) untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka. Bagi mereka,
mempertahankan kemerdekaan Indonesia haru didahulukan. Pandangan seperti ini
antara lain tersimpul dalam pidato Kasman Singodimedjo dalam Konstituante yang
mengutarakan mengapa kelompok Islami tidak mengajukan protes ketika ketentuan
Islami dihilangkan dari Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat
itu, katanya mengingat kalahnya Jepang dan mendaratnya tentara Sekutu, tidaklah
tepat membicarakan materi tersebut dengan mendalam).
Itulah
sebabnya kelompok Islami menyampingkan dulu prinsip-prinsip mereka sendiri
tentang filsafat Negara dan kontitusi, “dengan pengharapan di masa yang akan
datang, di mana keadaan mengizinkan mereka dapat memusyawarahkan kembali”.
Telah disebutkan terdahulu bahwa Soekarno telah menekankan ke-sementara-an
UUD 1945 ini dan menjanjikan: “Nanti….kalau kita telah bernegara di dalam
suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan
lebih sempurna”, itu adalah janji Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tertera
di atas senada dan sejiwa dengan janjinya sendiri terdahulu dalam pidatonya
tanggal 11 Juni 1945 yang kemudia dikenal dengan nama “lahirnya Pancasila”
ketika dia menguraikan dan mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai
salah satu sila dasar negara:
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara
agama…Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan Negara,
yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan didalam Badan Perwakilan
Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan Perwakilan inilah tempat untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam.
Pemilihan
umum akhirnya terlaksana lebih sepuluh tahun kemudian, tanggal 15 Deember 1955,
dan Presiden Soekarno melantik Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Partai-partai Islam meraih 230 kursi; sedangkan partai-partai lainnya
(Nasionalis, Protestan, Katolik, Sosialis, dan Komunis) mendapat 286 kursi.
Dengan demikian, perimbangan antar kedua kelompok tersebut sekitar 4:5.
Berdasarkan hasil pemilihan umum ini bahwa pihak Islam sama sekali tidak
terwakili secara layak, baik dalam Badan Penyelidik (25%) maupun dalam Pamitia
Persiapan (12%) hanya Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakartalah
kelompok Islam terwakili secara memadai (44%).
Untuk
mengikuti perdebatan-perdebatan tentang dasar Negara dalam Konstituante ini,
beberapa peristiwa penting dalam masa 1950-1955 harus diperhatikan. Apabila
pada tahun 1945 Soekarno memberikan jani-janji yang dipegang oleh golongan
Islam, namun pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan
pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan, ketika dia berkata:
Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah Negara nasional yang meliputi
seluruh Indonesia. Kalah kita dirikan Negara berdasarkan Islam, makan banyak
daerah-daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri,
misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian Barat yang belum masuk
wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik.
Pidato
Soekarno tersebut mengundnag banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok
Islami. M. Isa Anshari adalah yang pertama menyatakan reaksinya secara terbuka.
“Pidato Presiden Soekarno itu jiwa dan semangatnya adalah tidak demokratis dan
tidak konstitusional,”katanya.
Pernyataan
DT PI Perti menilai “pidato Presiden sekali ini bertendens adu domba dan
menggelisahkan umat Islam.” “dasar Negara Republik Indonesia yang akan datang
seharusnya diserahkan kepada Dewan Konstituante secara demokratis, bukan pada
pikiran-pikiran dan pendapar-pendapat Presiden seorang diri”.
Karena
pidatonya Soekarno pada saat di Amuntai, hal itu menimbulkan banyak
pertentangan khususnya dari golongan Islam. Bahkan beberapa tokoh Islam menyampaikan
pendapatnya secara terbuka. Seperti PP GPII menyatakan kepada Presiden: “Kini
bapak sudah menanam benih-benih separatism kepada rakyat…Dan ternyata dengan
itu Bapak telah menyatakan memihak kepada segolongan rakyat yang tidak setuju
dengan ideologi Islam”
Usaha-usaha ditempuh
untuk mendudukkan istilah-istilah kunci tentang hal termaksud secara jelas di
dalam diskusi. A. Dahlan Ranuwiharjo, Ketua Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), menulis surat kepada Presiden Soekarno, “meminta
penjelasan tentang hubungan antara Pancasila dengan ideology Islam”. Kemudian
Presiden Soekarno menyampaikan kuliah umum tentang “Negara nasional dan
cita-cita Islam” pada tanggal 7 Mei 1953 di Universitas Indonesia.
Presiden Soekarno menyatakan mengenai kedudukan Pancasila dan Islam. Soekarno
justru menyampaikan apa yang Mohammad Natsir katakana, bahwasanya Pancasila dan
Islam tidak bertentangan satu sama lain. Beliau juga mengutip bagian penting
yang disampaikan oleh M.Natsir, dimana M.Natsir mengakui Islam sebagai agama
rakyat namun tidak menyatakan hal itu secara tegas dalam konstitusi Indonesia.
Indonesia telah menyatakan keyakinannya dalam Pancaila yang telah kami ambil
sebagai dasar spiritual, moral, dan etis bangsa dan Negara.
Dalam kesempatan
peringatan Nuzulul Qur’an Ramadhan 1373 pada Mei 1954 M, M.Natsir membahas isyu
“Apakah Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin pada saat taraf
perjuangan kemerdekaan memuncak 1945. Isi dari Al-Qur’an diandingkan dengan isi
Pancasila. Perumusan Pancasila bukan keliatan apriori sebagai satu ‘barang
asing’ yang berlawanan dengan ajaran Al-Qur’an. Tetapi tidak berarti bahwa
Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam, tetapi Pancasila
itu bukanlah berarti Islam,“berbicara tentang sila pertama.
Pandangan
M. Natsir tentang Pancasila sebelum siding Konstituate membahas dasar Negara
ini cukup panjang. Pertama, M. Natsir adalah seorang pemimpin terkemuka
nasionalis Islami, yang sudah sejak zaman penjajajahan Belanda telah menjadi
salah seorang juru bicara kelompoknya dalam berbagai persoalan yang menyangkut
Islam dan umatnya antara lain dalam percaturan hubungan agama dan Negara. M.
Natsir pernah memangku jabatan sangat pemting dalam negara selaku Perdana
Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia (1950-1951), M.Natsir juga menjadi
Ketua Umum Masyumi (1949-1958),
partai politik Islam yang terbesar di Indonesia, sebelum NU memisahkan diri
dari Masyumi dan menjadi partai Islam sendiri). Ia muncul sebagai salah seorang
tokoh Islam internasional yang terkemuka dan disegani oleh dunia Islam.
Pendiriannya tentang Pancasila yang telah disampaikannya secara terbuka itu
sangat penting antara dia dengan Soekarno, khususnya pada sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam waktu yang sama, bertambah jelaslah duduk
persoalan Pancasila sebagai dasar Negara, yang menjadi bahan diskusi dan
perdebatan sengit antara para nasionalis Islami dan para nasionalis “sekular”
dalam Majelis Konstituante, beberapa tahun kemudian.
Natsir
menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun dari penyusunannya (penyusun Pancasila)
memegang monopoli untuk menafsirkan sendiri dan memberi isi sendiri kepadanya,
“dan mengharapkan agar “Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia
dilancarkan itu, tidaklah diisi oleh ajaran yang menentang –nentang kepada
Al-Qur’an, “akan tetapi pada bulan itu juga Presiden memberikan kuliah tentang
Pancasila, yang bagi banyak nasionalis Islami mengandung unsur-unsur yang jelas
bertentangan dengan ajaran Islam.
Presiden
Soekarno mengulangi penafsirannya tentang sila pertama Pancasila itu dalam
pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada 17 Juni.
Katanya:
Ketuhanan,
(ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit), itu memang
sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh,
berates-ratus, dan beribu-ibu tahun. Aku menggali di buminya rakyat Indonesia
dan hal pertama yang aku lihat adalah religieusiteit . apa sebab? Ialah
karena bangsa Indonesia ini adalah banga yang hidup di atas tarafnya agraria.
Beberapa data 1953 dan 1954 ini memberikan beberapa kesan, situasi,
dan atmosfir dalam Konstituante ketika majelis ini memulai kerjanya pada
November 1956. Pada mulanya, ada tiga usul yang diusulkan sebagai dasar Negara:
Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Usul yang pertama, Pancasila, didukung
oleh Partai Nasional Indonesia (PNI, 116 anggota), Partai Komunis
Indonesia (PKI, termasuk fraksi Republik Proklamasi, 80), Partai Kristen
Indonesia (PARKINDO, 16), Partai Katolik (10), Partai Sosialis
Indonesia (PSI, 10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI,
8), dan banyak partai kecil lainnnya; dengan jumlah total 273 wakil. Usul yang
kedua Islam, didukung oleh Masyumi(112 anggota), NU (91), Partai Sarekat
Islam Indonesia (16), Perti (7) dan empat partai kecil lainnya dengan total
230 anggota dalam Majelis Konstituante. Sedangkan usul ketiga, sosial ekonomi
didukun oleh 9 anggota dari Partai Buruh dan Partai Murba.
Perlu dicatat di sini bahwa yang dimaksud dengan “Pancasila” (dalam Konstituante) ini ialah “Pancasila”
lainnya yang manapun, selain daripada Piagam Jakarta walaupun yang disebut
terakhir ini sesungguhnya adalah formulasi resmi pertama Pancasila. Dalam
sikusi Majelis Konstituante tidak hanya melihat referensi (perujukan) pada
berbagai macam corak Pancasila yang berbeda-beda, akan tetapi juga melihat
keseberagaman penafsiran tentang istilah-istilah tertentu dan
penekanan-penekanan yang sangat berlainan.
5. Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 : dengan atau
Tanpa Piagam Jakarta
Dalam
pesannya di depan pertemuan sipil-militer di Sumatera Barat 13 Februari 1959,
Jenderal A. Haris Nasution menyatakan bahwa “dimaklumi bahwa TNI (AD)
memelopori usaha kembali ke Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945. Empat tahun
kemudian, yakni dalam peringatan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1963, sekali
lagi ia mengakui peranan yang di mainkannya sebagai wakil AD dalam usul “
dibuat bersama Dewan Nasional “ untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
sebagai cara yang paling tepat untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin yang sesuai
dengan kepribadian Indonesia. Usaha tersebut berhasil dalam plenonya 19
Februari 1959 (hanya satu hari setelah rapat pleno terakhir Panitia Persiapan
Konstitusi), Kabinet telah memutuskan secara bulat untuk melaksanakan prinsip
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Dua
pengertian kunci dalam paragraf yang terdahulu itu jelas adalah “Demokrasi
Terpimpin” dan “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”. Bagaimana persisnya
hubungan antara keduanya adalah pertanyaan yang dijawab dengan berbeda-beda.
Djamaluddin Datuk Singomangkuto, anggota Masyumi dalam Konstituante, melihat
“kembali ke UUD ‘45” jelas-jelas sekunder dan keinginan melaksanakan ‘Demokrasi
Terpimpin” sebagai primer.
Jika
kita rasakan secara mendalam formula resmi tersebut, maka teranglah bahwa yang
menjadi induk dari segala pemikiran, ialah pelaksanaan Demokrasi Terrpimpin,
sedangkan pemikiran kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 adalah pemikiran van de
twede orde, yang datangnya secara menndadak sontak, dua tahun kemudian sejak
Presiden Soekarno mencetuskan ide Demokrasi Terpimpin pada awal tahun
1957,persisnya pada tanggal 21 Februari 1957.
Pembahasan
mengenai pertanyaan apakah “kembali ke Undang-Undang 1945, ataukah penerimaan
Pancasila sebagai yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta.
Eksistensi Piagam
Jakarta secara resmi di catat dan diakui dalam penunjukkan ke arah itu adalah
dalam rangka usaha untuk mengadakan pendekatan ke kelompok Islami. Dalam
sidangnya pada Kamis, 19 Februari 1959, Dewan Menteri telah mengambil keputusan-keputusan,
antara lain pada Pasal 1 ayat 9 sebagai berikut :
Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam,
berhubungan dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya
“Piagam Jakarta” tertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh ....(sembilan
orang penandatangannya).
Segera setelah Presiden Soekarno menyatakan
persetujuannya atau putusan Kabinet 19 Februari 1959 itu, sehari setelah
tindakan kabinet itu Perdana Menteri Djuanda menyampaikan “Putusan Dewan
Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945” itu di depan sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat dan
pada 2 Maret 1959. Mengenai Pasal 1 ayat 9 dikuti di atas, Djuanda menyatakan :
Dengan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dimaksudkan
untuk mengembalikan seluruh potensi nasional, termasuk golongan-golongan Islam
guna dipusatkan kepada penyelesaian soal-soal keamanan dan pembangunan di
seluruh bidang.
Pidato Presiden Soekarno dalam Sidang Pleno Majelis
Konstituante di Bandung pada 22 April 1959, pada dasarnya mengulangi
pokok-pokok mengenai Piagam Jakarta. Dia menambahkan penjelasannya sendiri
sebagai berikut :
Saya disini hanya ingin
mengemukakan bahwa dalam mengikuti perjuangan Bangsa Indonesia melawan
penjajahan umumnya di Masa Kebangkitan Nasional pada khususnya, kita senantiasa
menghadapi suatu “amanat penderitaan rakyat”. Amanat penderitaan Rakyat yang
mengharukan. Amanat penderitaan Rakyat yang harus kita penuhi. Oleh karena ia
adalah AMANAT.
Adapun Amanat yang
dimaksudkannya itu disimpulkannya dalam tiga pokok :
Pertama : ciptakanlah suatu masyarakat yang adil dan
makmur
Kedua : bentuklah suatu negara kesatuan berdasar
paham unitarisme
Ketiga : anutlah
cara bermusyawarah, dalam satu badan atau sistem monokamera
Amanat penderitaan Rakyat itulah yang menjiwai Piagam
Jakarta, yang pada tanggal 22 Juni 1945 diatandatangani oleh 9 orang. Piagam
Jakarta ini memuat lengkap Amanat Penderitaan Rakyat yang saya sebutkan tadi,
yaitu : satu masyarakat yang adil dan makmur, satu negara kesatuan berbentuk
Republik, satu badan permusyawaratan perwakilan rakyat.
Piagam Jakarta adalah
suatu “dokumen historis” yang memelopori dan mempengaruhi pembentukan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu maka naskah Piagam Jakarta itu pun
saya sampaikan nanti dengan resmi kepada Sidang Konstituante.
Mengingat kenyataan sebaggian terbesar rakyat Indonesia
memeluk agama Islam dan mengingat pula prosedur demokratis, yaitu pemilihan
umum untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat nanti, pemerintah yakin, kata Perdana Menteri
selanjutnya, bahwa kedua badan perwakilan tersebut tadi tidak akan menerima
atau menentukan keputusan, undang-undang, atau peraturan pemerintah lain, yang
bertentangan dengan hukum syari’at Islam, dengan tidak mengurangi ketetapan
yang termaktub dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemeluk-pemeluk
agama lain.
6. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit ini dirumuskan
di Istana Bogor pada 4 Juli 1959, dan diumukan secara resmi oleh Presiden pada
hari Ahad 5 Juli 1959 jam 17.00 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Teks dekrit
tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
DEKRIT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI
KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa ;
KAMI
PRESUDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI
ANGKATAN PERANG,
Dengan
ini menyatakan dengan khidmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikankepada segenap rakyat
Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh
keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian
besar angggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak
menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas
yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan
bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat
Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1959 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI
ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante ;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku
lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan
Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.[7]
Pada bagian
ketiga yang mengangkat pembahasan Piagam Jakarta dalam Hubugannya dengan
Undang-Undang Dasar Sekarang. Pembahasan tersebut banyak membahas mengenai
rumusan resmi Pancasila dalam sejarah Indonesia dan dalam pembukaan UUD dan
posisi dan fungsi Piagam Jakarta.
7. Lima Rumusan
Resmi Pancasila dalam Sejarah Indonesia.
Rumusan
Pertama: Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945. Rumusan
pertama telah dibicarakan secukupnya dalam Bab II. Rumusan kedua Pancasila
ialah Pembukaan Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945. Seperti yang telah
diuraikan Bab III, bahwa pembukaan tersebut bukanlah melainkan Piagam Jakarta
dengan beberapa perubahan kecil tetapi penting yaitu penghapusan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” dan penambahan kata-kata “Yang Maha Esa” setelah kata
“Ketuhanan”.
Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949. Sejauh yang mengyangkut masalah
konstitusi, para delegasi Republik Indonesia (RI) dan Pertemuan untuk
Permusyawaratan Federal, menandatangani Piagam Persetujuan tentang Kontitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) di Scheveningen pada tanggal 29 0ktober 1949.
Rancangan Konstitusi tersebut telah dilegalisasi oleh DPR dan Pemerintah kedua
pihak itu pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku setelah 27 Desember
1949. Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat berisi secara ringkas
pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menekankan aspek kesatuan,
kedaulatan, ketuhanan dan filosofi negara (Pancasila). Pada ketika itu UUD 18
Agustus 1945-nya merupakan salah satu daripada negara-negara di bawah RIS. Dan
pada saat itu di seluruh bagian, rakyat mengajukan tuntutan dan desakan, antara
lain melalui demontrasi massa, agra negara-negara bagian menggabungkan diri
dengan Republik Indonesia. berlangsunglah konferensi antara RIS. Piagam Persetujuan
antara RIS dan RI yang ditandatangani pada tanggal 19 Mei 1950 itu antara lain
menyatakan sebagai berikut:
Bahwa kami menyetujui dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai
penjelmaan daripada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945,
atas pokok-pokok:
a.
Ke dalam: menyempurnakan penghidupan rakyat dan
persatuan bangsa Indonesia;
b.
Ke luar: memelihara perhubungan baik dengan
negara-negara lain.
Rumusan
Keempat: Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950.
Mukaddimah UUD ini merupakan gabungan daripada bagian pertama Pembukaan dari
Mukaddimah Konstitusi RIS.
Rumusan yang
keliama ini, yang berlaku sekarang, ternyata mampu mempertemukan kedua kelompok pemikiran yang berhadapan satu sama
lain di dalam Kontituante. Dengan demikian maka rumusan keliama ini adalah pada
hakikatnya satu-satunya rumus Pancasila yang yang pernah mendapat pengesahan
oleh rakyat dan oleh karena itu merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat
itu. Menolak rumus ini berarti mengingkari apa yang telah dengan nyata
dikehendaki oleh rakyat melalui para wakilnya yang dipilihnya secara sah
menurut hukum.
8. Posisi dan
Fungsi Piagam Jakarta: Pembicaraan Setelah 1959.
Kita ikuti
seksama uraian dan pendirian seorang yang mempunyai otoritas (wibawa dan
wewenang) ilmiah, yaitu Profesor Notonegoro, sebagai berikut:
Dalam Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945 bagi
seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terdapat pula
pernyataan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan
adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maksud Dekrit
Presiden itu ialah untuk menyelamatkan Republik Proklamasi dan di antara
pertimbangan-pertimbangan untuk mengadakan Dekrit itu ialah disebut “hubungannya
Piagam Jakarta dengan UUD 1945”.
Dengan UUD 1945 itu, dijiwai oleh dan dalam rangkaian kesatuan dengan Piagam
Jakarta ..
Yang penting bagi pembicaraan kita sekarang
ialah, bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai dan rangkaian kesatuan dengan sila
pertama daripada Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar, yaitu sila KetuhananYang Maha Esa dan juga penjelmaannya dalam tubuh
UUD, termasuk dalam pasal 29 ayat 1 dan 2.
Dengan merujuk
pada Dekrit Presiden, dan keputusan Dewan Pertimbangan Agung, serta pernyataan
resmi Pemerintah termaktub di atas, Notonegoro sampai pada kesimpulan: bahwa
kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pembukaan, setelah tanggal 5 Juli 1959,
tanggal ditetapkannya dan berlakunya Dekrit Presiden, isi artinya mendapat
tambahan, dan lengkapnya dengan tambahan itu ialah “kesesuain
dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Begitulah
juga halnya dengan isi arti daripada pasal 29 ayat (1) UUD.
Selanjutnya
pula: “Pemilihan
fungsi dan isi arti Piagam Jakarta bagi proklamasi kemerdekaan sebagai
perjanjian moril yang sangat luhur merupakan syarat keramat dan suci bagi
pertalian kesatuan kebangsaan”. Akhirnya Professor Notonegoro sampai pada
kesimpulan: belum pernah, sesudah proklamasi kemerdekaan, sebelum Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, kita memiliki syarat yang begitu keramat, suci bagi pertalian
kesatuan kebangsaan seperti pemulihan fungsi dan isi arti Piagam Jakarta bagi
proklamasi kemerdekaan sebagai perjanjian yang luhur itu. Hendaknya dalam waktu
kita memerlukan persatuan dankesatuan serta keselamatan dan tercapainya
kebahagiaan negara, nusa dan bangsa, seperti sekarang ini, kita jelmakan pada
proklamasi kemerdekaan.
Presiden mengutarakan dengan jelas bahwa orang
tidak akan memahami UUD 1945 serta pembukaannya denngan seksama bila dia tidak
memahami isi Dekrit Presiden yang telah melegalisasikan berlakunya UUD serta
pembukaannya tersebut, dan untuk memahami isi Dekrit dia harus membaca dan
memahami Piagam Jakarta.
[1]
H. Endang Saifuddin Anshari, M.A, “Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 Sejarah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia (1945-1959)”, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 45
[3] H. Endang Saifuddin Anshari,
M.A, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”,
hal. 51
[4] H. Endang Saifuddin Anshari,
M.A, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”,
hal. 55-56
[5] H. Endang Saifuddin Anshari,
M.A, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”,
hal. 58
[6] H. Endang Saifuddin Anshari,
M.A, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”,
hal. 60-62
[7]
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : Sebuah Konsesnsus
Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), ( Jakarta : Gema
Insani Press ), 1997, 91-111
Komentar
Posting Komentar